Senin, 30 Januari 2017

Grasi Kepada Warga Asing dengan Narkobanya, Sudah Bijakkah?


Grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim berupa menghapus seluruhnya, sebagian, atau mengubah bentuk hukuman tersebut. Menurut Profesor Van Hattum, Pemberian grasi tidak boleh lagi digunakan sebagai kemurahan hati dari raja atau kepala negara, melainkan grasi harus digunakan untuk meniadakan ketidakadilan yang terjadi, yaitu apabila hukum yang berlaku di dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidakadilan. Kepentingan negara juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi. Menurut Professor Van Hamel, pengembalian kewenangan hukum yang telah hilang berdasarkan suatu putusan hakim yang sifatnya khusus secara formal merupakan suatu kekhususan dari grasi dalam arti yang sebenarnya. Bijakkah jika Kepala Negara memberi grasi kepada warga negara lain? Boleh-boleh saja asalkan dengan alasan dan konteks yang benar, tentu saja hukum tidak bisa dipermainkan dengan gampang. 

Salah satu contoh yang banyak menarik perhatian dan cukup terkenal yaitu Schapelle Corby. Pemberian grasi dari Presiden SBY kala itu dilakukan karena terpidana didiagnosa mengalami gangguan kejiwaan oleh 2 orang dokter yang berbeda. Terpidana diberi grasi sebanyak lima tahun penjara. Tetapi ternyata alasan pemberian grasi oleh Presiden ternyata berbeda dengan apa yang disampaikan oleh pihak Corby. Menurut Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizayah, pemberian grasi kepada terpidana kasus narkotika Schapelle L. Corby dilakukan dalam rangka hubungan diplomatik. Dalam kaitan ini, pemerintah berharap adanya asas respirokal dari pihak Australia dan pertimbangan lainnya adalah aspek kemanusiaan. Terkait dengan pemberian pidana tersebut sejatinya dapat diduga bahwa sebenarnya pemberian grasi kepada terpidana narkotika Schapelle Corby di Bali dinilai tidak terlepas dari tekanan diplomasi dari pemerintah Australia.

Secara yuridis pemberian grasi oleh Presiden bertentangan dengan kebijakan pengetataan atau moratorium pemberian remisi kepada napi korupsi, narkotika dan psikotropika, terorisme, dan kejahatan transnasional sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Pemberian grasi ini dianggap sebagai bukan langkah yang bijaksana dari seorang presiden dalam hal pemberantasan narkoba di Indonesia. Bahkan, hal ini merupakan kali pertamanyagrasi ini diberikan kepada narapidana narkotika.

Pemberian grasi merupakan kewenangan Presiden yang diberikan oleh UUD 1945. Pemberian grasi dilakukan dengan menerbitkan Keppres pemberian grasi. Mengenai pencabutan suatu Keppres pemberian grasi, harus dilakukan dengan menerbitkan Keppres pencabutannya oleh Presiden. Mengingat bahwa tidak adanya Keppres pencabutan grasi maka, sudah sepatutnya Presiden bijak untuk memberikan hak grasi kepada setiap warga negara baik dalam negeri maupun luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar